Kemudian acara selanjutnya mereka yang menerima uang Rp. 10.000.000,00 “dadakan” tersebut lalu lari-lari ke toko atau super market atau ke mall dan sebagainya untuk membelanjakan dan menghabiskan jumlah uang tersebut. Bisa kita lihat yang mereka beli adalah barang-barang yang menurut pandangan mereka adalah barang-barang yang “mewah” misalnya kulkas, televisi, radio, tape-corder, kompor gas, bahan, alat-alat masak dan makanan-makanan (supermi dan sejenisnya, snack dan sebagainya). Pembelian–pembelian tersebut begitu meriahnya, tanpa disadari pentingnya setelah mereka membeli.
Saat melakukan pembelian barang-barang tersebut memang tidak akan menjadi beban yang bersangkutan manakala yang dibeli adalah bahan-bahan makanan/ minuman atau alat-alat masak yang tidak elektromik. Akan tetapi ternyata mereka sekarang membeli peralatan dan barang-barang yang tidak primer dan yang elektronik (Kulkas, TV misalnya), tidak terpikirkan bahwa setelah membeli dan memiliki akan mengandung biaya. Biaya yang ditanggung secara harian atau bulanan adalah biaya listrik, sementara barang-barang tersebut kurang produktif untuk bisa menghasilkan uang secara harian atau bulanan. Pembelian tersebut sekedar menghabiskan uang “dadakan” yang tidak diperhitungkan beban selanjutnya setelah memiliki barang-barang tersebut. Inilah yang dikatakan sebagai bukti bahwa masyarakat kita sangat konsumerisme. Tanpa disadari dengan mendapatkan hadiah mendadak mereka memiliki barang-barang yang kurang produktif dan justru akan menjadi beban harian atau bulanan, yang berarti tidak menolong kehidupan sehari-hari, akan tetapi kebalikannya yaitu memberi beban biaya harian atau bulanan mereka.
Kita harus sadar bagaimana kita harus memilih manakala kita memperoleh dana atau uang yang berlebih. Kepada kita semua hendaknya secara sadar harus melakukan perubahan paradigma. Bagaimana kita membiasakan diri untuk berpikir “berinvestasi”. Berinvestasi secara sederhana adalah dengan menabung, membeli barang-barang yang tahan lama yang dikemudian dapat dijual dengan harga yang stabil (misalnya emas), atau kita membeli surat-surat berharga (misal saham) dan sebagainya. Mengambil contoh sederhana, yaitu manakala mereka yang memperoleh “Uang Kaget” dari MR.EM tersebut memiliki kebiasaan berfikir “investasi” dan bukan pandangan konsumerisme akan sangat baik jika uang tersebut dibelikan barang berharga misalnya emas. Dengan memiliki emas, tidak mengandung beban biaya yang harus dikeluarkan setelah pembelian. Dengan memiliki emas, manakala suatu saat setelah pembelian diperlukan uang tunai maka dapat dijual kembali dengan perubahan harga yang relatif stabil. Coba kita bandingkan dengan jika mereka membeli TV, yang memunculkan biaya baru setelah pembelian dan manakala dijual harganya turun yang drastis.
Untuk pemerintah terutama instansi atau pejabat yang berkaitan dengan pemberdayaan rakyat hendaknya program “suka investasi” ini dapat dikembangkan. Minimal pembudayaan menabung, harus di”galak”kan kepada masyarakat sampai masyarakat tingkat yang paling bawah. Dengan menabung atau berinvestasi akan mampu “menggairahkan” dan meningkatkan ekonomi bangsa dan negara ini. Negara ini memerlukan kerja keras semua pihak, untuk menumbuhkan ekonomi. Untuk menumbuhkan ekonomi bangsa, diperlukan investasi-investasi, investasi diperlukan dana. Kebiasaan berinvestasi (minimal menabung di Bank) merupakan budaya yang perlu dikembangkan, disosialisasikan dan menjadi budaya masyakarat. Bukan lagi budaya konsumerisme. Para pendidik, tokoh masyarakat, para da’i, dan kita semua memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama untuk pembudayaan berinvestasi dan menghindari budaya konsumerisme pada lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar