Temuan para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang adanya kontaminan pada produk susu formula dan makanan bayi membuat banyak kalangan, terutama ibu-ibu panik. Kejadian ini kembali mengingatkan kita akan salah satu hak bayi yang sering dilupakan oleh para ibu, yakni hak untuk memperoleh Air Susu Ibu (ASI) yang dengan mudahnya digeser oleh susu formula. Betapa tidak, data menyebutkan hanya 14 persen bayi di Indonesia yang disusui secara eksklusif oleh ibunya hingga usia empat bulan.
Pemasaran yang agresif dari produsen susu pengganti ASI (PASI) merupakan salah satu faktor penghambat pemberian ASI di Indonesia. Pemberian susu formula pada bayi yang semestinya mendapatkan ASI eksklusif menjadi gaya hidup saat ini. Berdasarkan survei tahun 1999, bayi di Indonesia rata-rata memperoleh ASI eksklusif 1,7 bulan.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 1997 dan 2002 menunjukkan pemberian ASI kepada bayi satu jam setelah kelahiran menurun dari 8 persen menjadi 3,7 persen. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan menurun dari 42,2 persen menjadi 39,5 persen, sedangkan penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8 persen menjadi 32,5 persen.
Kehebatan ASI padahal tak mungkin dipungkiri. ASI adalah sebuah cairan tanpa tanding untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dan melindunginya dalam melawan kemungkinan serangan penyakit.
Keseimbangan zat-zat gizi dalam ASI berada pada tingkat terbaik dan memiliki bentuk paling baik bagi tubuh bayi. Kelenjar susu ibu adalah “pabrik susu” paling efisien di dunia. Kelenjar susu ibu bisa mengolah dan mengubah apa saja yang dimakan oleh ibu menjadi air susu yang berkualitas bagus. ASI mengandung lebih dari 1.000 jenis nutrien sehingga tidak ada satu pun jenis susu lain yang bisa menyamainya.
Susu formula yang diracik agar memenuhi semua zat gizi seperti yang ada dalam ASI pun belum tentu bisa diserap oleh bayi seperti ASI. Ibu melahir-kan di rumah sakit ternyata menjadi pa-sar utama para produsen susu formula untuk bayi yang baru lahir (0-6 bulan).
Produsen susu tidak perlu melakukan promosi di media massa. Cukup mendatangi pihak rumah sakit, rumah sakit bersalin maupun praktik bidan, kemudian melakukan pendekatan agar rumah sakit atau klinik bersalin mau mendorong pasiennya memberi susu formula pada bayi.
Melanggar Ketentuan
Selain memasang poster dan kalender, tak jarang ibu yang baru melahirkan diberi sampel gratis susu formula, dengan tanpa memberikan penjelasan mendalam tentang produk tersebut. Lebih parah lagi, praktik sindikasi riset dari berbagai perusahaan susu formula dengan “korban” ibu-ibu yang baru melahirkan pun tak kalah gencarnya.
Lagi-lagi rumah sakit dan klinik bersalin yang turut memuluskan cara-cara tersebut. Perusahaan susu mendapat pasokan data dari rumah sakit/klinik berupa nama, alamat, nomor telepon bayi baru lahir untuk memantau keberadaan si ibu dan bayi setelah meninggalkan rumah sakit. Bahkan beberapa perusahaan berusaha terus mengejar si ibu untuk terus setia menggunakan produknya.
Hasil Monitoring Pemasaran PASI di Indonesia tahun 2003 yang diselenggarakan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Badan Kerja Peningkatan Penggunaan ASI Pusat di lima provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah) menunjukkan dari 84 sarana pelayanan kesehatan yang dimonitor, 79 tempat penjualan, 80 ibu yang diwawancarai, analisis label dan bahan Komunikasi Informasi Edukasi, menunjukkan 16 perusahaan makanan bayi dan 15 perusahaan botol serta dot melanggar ketentuan.
Hampir semua sarana pelayanan kesehatan (SPK) yang dimonitor menjadi tempat ajang promosi PASI. Bahan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), booklet, poster, kalender memuat logo perusahaan dan atau nama produk perusahaan. Selain itu, ada produsen yang memberi hadiah untuk SPK berupa lemari es, televisi, lampu emergensi, uang tunai, papan nama di boks bayi dan hadiah-hadiah lainnya.
Pemonitor juga menemukan ada ibu yang baru melahirkan menerima bahan promosi dari SPK. Tenaga kesehatan menerima hadiah misalnya Rp 20.000 untuk penggunaan susu tertentu untuk seorang bayi, sponsor untuk wisata, konferensi, hingga paket naik haji.
Di samping itu, hampir semua SPK menerima suplai susu formula gratis, harga khusus atau harga normal secara teratur (1-2 bulan sekali). Beberapa label PASI masih berbahasa Inggris atau Prancis. Bahan KIE dari berbagai perusahaan dipajang di semua SPK, di ruang bayi, ruang ibu maupun ruang tunggu klinik ibu dan bayi.
Bahkan pada ruang menyusui, promosi produsen makanan bayi direncanakan sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Konon, penjualan susu bayi 0-6 bulan mampu menembus angka US$ 11 miliar setiap tahunnya. Ini jumlah yang sangat besar dan tentu saja sangat menggiurkan produsen susu.
Kode Etik
Pemasaran komersial mereka sangat berhasil. Mereka bisa mengubah yang normal men- jadi tidak normal. Ibu menyusui itu sangat normal, namun mereka bisa membuat ibu merasa malu menyusui. Tentu ini tidak etis. Promosi yang menyesatkan membuat ibu menjadi percaya PASI lebih baik daripada ASI. Promosi juga gagal menjelaskan risiko yang muncul akibat penggunaan PASI yang salah.
Untuk mengatasi promosi yang menyesatkan itu sebenarnya telah disusun Kode Etik Internasional tentang pemasaran PASI. World Health Assembly (WHA) pada 1981 menyebutkan, menyusui bayi harus dilindungi dan dipromosikan secara aktif di semua negara. Di Indonesia Kode Etik Internasional ini diadopsi melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 237/Menkes/SK/IV/1997 yang merupakan penyempurnaan dari Permenkes No 240/Menkes/Per/V/ 1985.
Meski demikian, pelanggaran terhadap kode etik ini terus-menerus terjadi. Jika dibanding dengan Malaysia dan negara lain, sebenarnya perangkat hukum mereka terbilang lebih sederhana dibandingkan Indonesia. Anehnya, di Malaysia produsen PASI lebih mematuhi Kode Etik Internasional ini. Bagaimana di Indonesia?
Sebenarnya setiap produsen susu yang merupakan perusahaan multinasional sangat terikat pada peraturan negara di mana kantor pusatnya berada. Sebagian besar produsen susu yang beroperasi di Indonesia berasal dari Eropa dan Amerika, yang sesungguhnya menjalankan peraturan ini dengan ketat.
Namun, entah kenapa di negara berkembang seperti Indonesia, praktik seperti ini mereka biarkan. Fenomena derasnya gempuran susu formula ini kian menguatkan kita betapa pentingnya kehadiran peraturan perundangan tentang pemasaran susu formula sebagai piranti menindak tegas berbagai pelanggaran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar