Custom Search

Senin, 28 April 2008

Pengertian Parikan


Parikan atau kidungan adalah salah satu bagian dalam kesenian tradisional ludruk. Di dalam ludruk, ada tiga jenis parikan saat bedayan (bagian awal permainan ludruk). Yaitu, lamba (parikan panjang yang berisi pesan), kecrehan (parikan pendek yang kadang-kadang berfungsi menggojlok orang) dan dangdutan (pantun yang bisa berisi kisah-kisah kocak).

Dalam ludruk yang benar-benar murni, seorang seniman ludruk paling tidak harus bisa parikan selama dua jam tanpa putus. Selain itu, parikan tersebut harus dituntut kontemporer. Artinya, parikan tersebut harus sesuai kondisi-situasi sosial yang ada. Jadi, parikan tidak boleh sesuatu yang monoton. Spontanitas menempati porsi terbesar dalam hal ini. Prosesnya selalu dimulai dengan parikan yang sudah dihafalkan. Baru setelah tiga hingga empat parikan karya-karya spontanitas dimunculkan.

Seorang pemain ludruk yang hendak parikan biasanya mengamati kondisi masyarakat sekitar tempat pertunjukan agar bisa membawakan parikan yang mengena dan bisa diterima oleh para penontonnya.

Parikan adalah salah satu karya seni tradisional yang populer, namun kebanyakan penciptanya tidak kita ketahui atau anonim. Karenanya, untuk menghidupkannya kembali, Hermanu mencoba menghadirkan parikan-parikan ini setelah melakukan riset. Agar lebih menarik lagi, BBY mengajak para perupa Yogya untuk memvisualkan—tentu saja sesuai dengan imajinasi mereka sendiri.

Budayawan yang juga seorang pastor di Gereja Kotabaru Yogya, Sindhunata, mengungkapkan bahwa kalimat atau kata-kata dalam kidungan (parikan) dapat menjadi inspirasi bagi para perupa Yogyakarta untuk mengembangkan inspirasinya dalam membuat lukisan. Kata Sindhunata, ada beberapa yang menggambarkan gendhakan atau perselingkuhan dengan apa adanya.

Gendhakan, lanjutnya, di tangan perupa bisa ditampilkan dalam idiom aktual, modern dan universal. Kidungan tersebut jadi mempunyai nilai aktual dan universal yang tetap relevan untuk zaman sekarang.

“Ini sungguh mengherankan, karena kidungan itu hanyalah kata-kata rakyat sederhana, yang lugu dan sering naïf pula,” ujar Sindhunata.

Menyimak apa yang diutarakan Sindhunata, dalam pameran Parikan Gendhakan ini bisa dilihat visualisasi yang digarap Ivan Sagita ketika mengambil parikan yang berbunyi: “Aja enak sing ngimbu sawo. Nak mateng ndhak ruh rasane. Aja enak turu wong loro. Nek meteng ndah ruh jawane.” (Jangan senang yang memeram sawo. Kalau masak tidak tahu rasanya. Jangan senang tidur berdua. Kalau hamil tahu sendiri). Di sini, Ivan menggambarkan potongan tubuh seorang wanita yang telanjang, tanpa kepala. Gambar itu jelas sekali menunjukkan wanita tersebut tengah hamil seperti terlihat perutnya yang membesar.

Pun kalau melihat lukisan Nasirun yang menunjukkan adanya seorang wanita dan seorang laki-laki yang tengah menggendong anak. Lukisan Nasirun ini memvisualisasikan parikan yang berbunyi: Ijo-ijo godhong tebu. Godong blarak dika lugurna. Duwe bojo kok dadi babu. Coba kula, kula anggurna.”
(Hijau-hijau daun tebu. Daun kelapa kau jatuhkan. Punya istri kok jadi babu. Coba saya, saya diamkan).

Begitulah para perupa Yogya mencoba menangkap makna parikan dan mengejawantahkan dalam karya lukisannya.

Artikel Sejenis :



Tidak ada komentar: