Teknologi sesungguhnya anak dari sains, sedangkan sains berada dalam naungan filsafat ilmu (epistemologi). Etika yang dibahas dalam tulisan ini merupakan bagian dari filsafat yakni filsafat moral. Oleh sebab itu adalah suatu hal yang wajar apabila filsafat dibahas untuk mencari jawaban mengapa gejolak antara industri pertambangan (pengguna teknologi) yang berakar dari filsafat ilmu disatu pihak dan etika lingkungan yang berasal dari filsafat moral dilain pihak dapat terjadi.
Terjadinya kerusakan lingkungan yang parah dan meluas saat ini di dunia, tidak terlepas dari suatu sistem filsafat yang dianut manusia yang terlibat di dalamnya, sehingga mereka mampu melakukan pengerusakan lingkungan, tanpa merasa bersalah bahkan sebaliknya sangat bersemangat dan merasa terhormat untuk berjuang mati-matian agar berhasil dalam menerapkan nilai-nilai filsafat yang telah dijunjung tinggi oleh mereka (tidak terkecuali komunitas pertambangan) kedalam suatu realitas.
Menurut Waller, filsafat yang mampu memacu kerusakan lingkungan adalah filsafat materialisme. (Pojman, Louis P, Environmental ethics: Reading in Theory and Aoplication , USA:Jones and Barlett Publihers, 1994, hlm.438). Filsafat ini mempunyai akar yang cukup dalam yaitu pada rasionalisme Yunani (Plato, Neoplato) maupun rasionalisme abad pencerahan, khususnya dalam diri Rene Descartes pada abad ke 17 dan pengikutnya yang dikenal sebagai kelompok rasionalisme pencerahan kartesian. Selanjutnya, paham ini dikembangkan dalam bentuk kritisisme Immanuel Kant dan pengikutnya yang disebut Kantian.
Perkembangan sains dan teknologi yang menguasai kehidupan modern dewasa ini sangat dipengaruhi oleh kedua rasionalisme tersebut. Perkembangan sains dan teknologi ini selanjutnya semakin membuat manusia sadar akan keunggulannya dibandingkan dengan ciptaan yang lain yaitu lingkungan hidup, atau lebih dikenal dengan sikap antroposentrisme. Krisis ekologi yang terjadi sekarang ini berasal dari filsafat tersebut. (Borrong, Robert P, “Etika Bumi Baru”, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1999, hlm.228)
Rasionalisme telah mempengaruhi nilai-nilai religius orang Barat, baik di dalam tradisi Ortodoks maupun tradisi Judeo-Christian yang mayoritas dianut oleh masyarakat tersebut, sehingga rasionalisme semakin mendapat legitimasi dan mempercepat penyebaran paham tersebut ke seluruh dunia.
Pada tahun 1967 Lynn White, seorang profesor di bidang sejarah pada Universitas California, Los Angeles, menulis sebuah artikel yang berisi tentang krisis ekologi yang disebabkan oleh “arogansi orang Barat yang menganut ajaran kristen orthodoks terhadap lingkungan”. Ia berargumen bahwa sifat ortodoks dari orang Barat adalah akar dari sikap-sikap dominan manusia, atau disebut juga antroposentris, dimana hal ini dapat ditelusuri balik pada dogma mereka yang berbunyi: “Allah memberkati mereka: lalu Allah berfirman: .. penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi".
Menurut White, sikap orang Barat yang antroposentris sangat bertentangan dengan sikap penganut animisme yang percaya bahwa roh yang diam pada benda-benda yang ada di alam. Pada penganut animisme, alam adalah suci dan tidak boleh diperlakukan dengan tidak patut, bila mereka terpaksa untuk mengambil dari alam sesuatu yang suci (hewan/pohon/batu..) maka harus dilakukan proses ritual sebelumnya, dan kemudian setelahnya mereka harus meminta maaf kepada alam karena mereka telah melukai alam. Berbeda dengan cara pandang orang Barat mereka menganggap bahwa mereka mempunyai hak yang besar terhadap alam yang telah diciptakan Allah. (Pojman, Louis P, Environmental ethics: Reading in Theory and Application, USA: Jones and Barlett Publihers, 1994), hlm. 6)
Lewis W. Moncrief seorang sosiolog, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan berhubungan dengan kebudayan Barat yang mewarisi tradisi Judeo-Christian. Tradisi ini telah menghasilkan demokrasi, teknologi, urbanisasi, peningkatan kekayaan individu, dan sikap agresif terhadap lingkungan yang langsung berdampak kepada krisis lingkungan. (Pojman, Louis P, Environmental ethics: Reading in Theory and Application , USA: Jones and Barlett Publihers, 1994, hal.10)
Menurut Moncrief, pengaruh tradisi Judeo-Christian terhadap krisis lingkungan terjadi melalui empat tahapan: Tahap pertama, terbentuknya Tradisi Judeo-Christian di negara-negara Barat. Tahap kedua terbentuknya ideologi kapitalisme yang menghadirkan pengembangan sains dan teknologi serta demokratisasi. Perlu dijelaskan disini bahwa kapitalisme yang sekarang kita kenal sering dihubungkan dengan pemikiran Max Weber dalam bukunya " The Protestant Etics and The Spirit of Capitalism" yang menurut para pengamat telah terjadi distorsi terhadap ajaran Calvin.
Pendistorsian tersebut perlu dilakukan oleh kelompok kapitalis yang memang memerlukan legitimasi etis dalam upayanya untuk menumpuk kekayaan, karena pada jaman itu kelompok kapitalis dianggap remeh dan dipandang rendah oleh masyarakat luas. Dalam rangka mengubah suatu pelecehan menjadi suatu penghormatan dan penghinaan menjadi penghargaan, menurut Max Weber mereka memanfaatkan etika Protestan. Tahap ketiga, terjadinya urbanisasi, pertambahan penduduk, dan hak kepemilikan individual tidak lagi dibatasi. Tahap keempat, akibat dari ketiga proses yang tersebut menghasilkan degradasi lingkungan hidup seperti yang alami dunia saat sekarang. (Pojman, Louis P, Environmental ethics: Reading in Theory and Application , USA: Jones and Barlett Publihers, 1994, hal.19)
Di Timur, rasionalisme Barat telah meracuni sistem nilai religi timur dengan filsafat orientalisme, kaum orientalis dengan sengaja menempatkan sistem nilai atau religi Timur lebih rendah dari sistem nilai dan religi Barat. Pemikiran orientalis ini dibawa masuk oleh orang-orang yang telah menimba ilmu di Barat, kemudian diterapkan di dalam negeri tanpa melakukan kritisi terlebih dahulu terhadap kemungkinan adanya kesalahan-kesahan yang dilakukan oleh rasionalisme Barat tersebut. (Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta, Pustaka Utera Antarnusa,2001,h.lix)
Menurut Haekal, pemikiran orientalis ini mempunyai maksud yang tersembunyi di dalam jiwa intelektual Barat, yang bertujuan hendak menghacurkan sendi-sendi salah satu agama, atau semua agama, (Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta, Pustaka Utera Antarnusa, 2001, hal lxxi) tujuannya jelas, imperialisme atau penaklukan/ penjajahan untuk mendapatkan sumberdaya alam.
Rasionalisme, sains, dan teknologi telah membuat manusia merasa lebih unggul dibandingkan dengan ciptaan lain dan kemudian hal ini mendapatkan legitimasi dari sistem nilai masyarakat dan religi yang telah terdistorsi sehingga membuat manusia Barat semakin yakin bahwa ia adalah satu-satunya ciptaan yang berkuasa atas bumi dan segala isinya tanpa perlu bergantung atau tunduk kekuatan Tuhan yang transenden.
Penolakan ketergantungan kepada Tuhan dapat kita telusuri pada legenda atau drama Faustus yang berakar pada abad pertengahan di Eropa. Kegandrungan Barat pada sains dan teknologi direpresentasikan dalam legenda atau drama ini. Faust atau doktor Faustus yang sangat tekenal di Barat, telah beredar di kalangan terpelajar Eropa pada tahun 1587 dan kemudian ditulis ulang oleh Goethe. Karya sastra tersebut menceritakan tentang seorang tokoh intelek yang dikenal sebagai si jenius Doktor Faust atau Faustus yang menjual jiwanya sendiri kepada Mephistopheles (iblis) demi mendapatkan pengetahuan dan kekuasaan.
Dalam drama ini Mephistopeles ketika berdialog dengan Tuhan menyatakan bahwa Faust hidup dalam kegilaan dan ingin meraih bintang-bintang terindah di langit dan puncak-puncak nafsu yang ada di bumi. Dari hasil menjual jiwa kepada Mephistopheles telah membuat doktor Faust menjadi sangat hebat dalam sains dan teknologi serta terkenal. Kemudian dengan segala kehebatannya ia menjejakkan kakinya ke mancanegara, dimana setiap langkahnya disertai oleh bayang-bayang gelap keiblisan.
Legenda tentang Faust ini kemudian dikenal oleh dunia sebagai sosok kompleks, yang sering dianggap sebagai personifikasi semangat Barat yang mengagungkan sains dan teknologi di atas segalanya, hingga ia sendiri tidak sanggup mengendalikan bahaya maut yang timbul dari sana.
Demikian juga sains dan teknologi sekarang ini, juga telah merambah dunia, dibalik keindahannya, kemolekan dan kegagahannya yang menjanjikan puncak-puncak nafsu dan bintang-bintang indah di langit kepada manusia yang sebenarnya didalamnya terkandung kegelapan dan bencana. (Goethe, Johann Wolfgang, Faust,(Jakarta: Kalam, 1999, hal. 11-14) Kegelapan dan bencana ini terjadi karena aspek etis dan moral telah ditanggalkan dan di jual kepada Mephistopheles, sehingga sains dan teknologi menjadi kering dan dari aspek moral dan etis.
Kondisi tidak terkendali di atas oleh Anthony Giddens dicirikan oleh adanya;manufactured Uncertainty atau suatu kondisi yang diliputi oleh ketidakpastian yang ditimbulkan oleh manusia berkat teknologi yang diciptakannya sendiri. Contoh yang jelas adalah terganggunya alam atau lingkungan hidup yang ditandai dengan gejala pemanasan bumi, kerusakan ozon, polusi, munculnya bebagai macam hama dan penyakit baru akibat perkembangan teknologi pertanian. Kondisi tersebut digambarkan oleh Giddens dengan sebuah metafor; yaitu truk besar yang meluncur tanpa kendali, dan tidak ada satu manusiapun yang lolos dari situasi yang mengerikan ini dan tidak ada satu manusia pun yang dapat menghentikan juggernaut ini, yang ada hanya kepasrahan dan doa mohon selamat, ( Giddens, Anthony, Jalan Ketiga, (Jakarta :Gramedia, 2000), hal.ix)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar