1. Masa Pra-Sokrates
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.
2. Periode Athena
Hampir bersamaan dengan filsafat atomis, muncul para filosof yang mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut dengan kaum sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo mensura". Kaum sophis berpendapat bahwa manusia menjadi ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Mereka menggunakan retorika sebagai alat utama untuk mempertahankan kebenaran. Tidak adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.
Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim yang merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang diterima setiap orang. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada; namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial" yang berisikan seluruh unsur asli alam. Selanjutnya, muncul Aristoteles (384-322 SM) yang meyakini Tuhan yang monoteistik dan kekekalan jiwa manusia. Sampai periode ini, agama dan filsafat sama-sama dominan.
Sebelum perjalanan survei tentang agama dan filsafat Barat klasik diakhiri, perlu dikemukakan pemikiran seorang filosof yang merumuskan kembali pemikiran Plato, terutama dalam menjawab persoalan agama. Aliran ini dikenal dengan Neo-Platonisme yang dirintis oleh Plotinus (205-70 SM).
Doktrin pokok Plotinus adalah tiga realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan Yang baik (The Good). Hubungan ketiga unsur tersebut dikenal dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang dituntun kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah seorang murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional. Filsafat Plotinus tumbuh bersamaan dengan munculnya agama Kristen, dan dijadikan dasar oleh para pemuka agama Kristen untuk mempertahankan ajaran-ajaran mereka.
Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan filsafat dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan agama Kristen adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang mengadakan konsolidasi diri dan mencoba untuk mengikis habis paganisme, dan filsafat dianggap sama dengan paganisme. Tidak lama kemudian, gereja membakar habis perpustakaan Iskandaria bersama seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat di Athena.
Yang menarik dari pemikiran Plotinus dan Neo-Platonisme adalah pengalihan arah pemikiran dari alam (kosmo sentris) dan manusia (antroposentris) kepada pemikiran tentang Tuhan (theosentris), sehingga Tuhan dijadikan dasar segala sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar