Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam telah sepakat untuk mengutamakan penggunaan bahasa kebangsaan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu secara tertib dan sikap positif penuturnya akan menjadi titik pijak yang baik untuk mengembangkan pemakaian Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu di mancanegara. Oleh karena itu, peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia/bahasa Melayu perlu digalakkan di berbagai lapisan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada pembukaan Sidang dan Seminar Bahasa dan Sastra MABBIM-MASTERA di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (7/04/2008). "Utamakan peradaban bangsa serumpun agar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu tidak tercerabut dari akarnya," kata Mendiknas.
Mendiknas menyampaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Declaration on the Rights of Persons belonging to National, Ethnic, Religius, and Linguistics Minorities (1992) tentang hak-hak sipil mengisyaratkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memperhatikan bahasa minoritas sebagai ciri etnis atau budaya penutur bahasa itu. " Dalam hal bahasa, di Indonesia bahasa minoritas adalah bahasa daerah walaupun ada bahasa daerah yang mempunyai penutur banyak."
Menurut Mendiknas, penggalian kekayaan bahasa daerah diperlukan untuk mengimbangi pengaruh besar bahasa asing dalam pengembangan kosakata atau istilah Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu. "Mabbim telah berhasil mengembangkan mutu daya ungkap melalui penciptaan istilah baru dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Melayu, sehingga konsep-konsep bidang ilmu dan teknologi serta seni dapat diwadahi," ujarnya.
Selanjutnya, kata Mendiknas, Mabbim (Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesi a- Malaysia) perlu merancang secara baik bagaimana menghadirkan istilah-istilah itu dalam pemakaian bahasa masyarakat, terutama di kalangan pendidikan tinggi dan calon cendekiawan. "Saya mengajak pimpinan perguruan tinggi untuk memasyarakatkan istilah Mabbim," kata Mendiknas.
Lebih lanjut Mendiknas mengungkapkan, saat ini terjadi interaksi yang sangat intensif antar peradaban, baik antar etnis, negara, dan mancanegara. Mendiknas menduga, hal ini berpotensi timbulnya osmose budaya. "Budaya yang lebih kental sangat berpotensi untuk mewarnai budaya yang lebih encer. Itu bisa terjadi antara budaya asing terhadap peradaban Indonesia dan juga interaksi antara budaya Indonesia dengan budaya daerah."
Demikian juga dengan kosakata bahasa asing yang memiliki kekentalaan budaya yang lebih tinggi daripada budaya Indonesia akan menginfiltrasi kosakata Bahasa Indonesia. Dalam kaitan ini, kata Mendiknas, perlu disiplin pengembangan kosakata yang berasal dari infiltrasi budaya. "Agar identitas dari budaya Indonesia, budaya kebangsaaan, dan identitas budaya daerah itu bisa tetap kita jaga dan sekaligus tetap menjadi identitas-identitas budaya yang relevan dan eksis di dalam masyarakat," ujarnya.***
Mendiknas menambahkan, sumber utama dari dibutuhkannya kosakata-kosakata baru dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Melayu adalah perkembangan teknologi yang sangat cepat. Menurut dia, ada tiga bidang teknologi yang akhir-akhir ini begitu marak perkembangannya dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yaitu teknologi informasi dan komunikasi, bioteknologi, dan nanoteknologi.
Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tiga cabang teknologi ini telah berhasil menemukan realitas-realitas baru dalam kehidupan yang sebelumnya tidak ada kosakata yang mengungkapkan realitas itu. "Budaya yang dinamis yang hidup itu selalu berpotensi untuk menemukan realitas baru. Untuk itu diperlukan kosakata baru dalam Bahasa Indonesia maupun dalam Bahasa Melayu," ujarnya.***
Sumber: Pers Depdiknas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar