Custom Search

Senin, 09 Juni 2008

Gaya Penulisan

Pada awalnya seorang penulis mungkin masih suka meniru gaya penulis lain. Untuk pembelajaran di dalam menulis memang tak ada salahnya, misalnya dia menulis tentang penulisan dari penulis favoritnya. Asalkan tidak jangan keterusan, dan mulailah untuk meyakinkan diri sendiri bahwa “Suatu saat nanti saya harus punya karakter sendiri di dalam menulis”

Karakter dari setiap penulis seharusnya berbeda dari penulis lainnya, termasuk juga di dalam hal penggunaan gaya penulisannya. Biasanya, karakter penulisan ini akan diperoleh secara otomatis (tak perlu dicari) jika penulis jam terbangnya semakin tinggi. Maka untuk itu sering-seringlah berlatih menulis. Ini merupakan satu-satunya cara yang ampuh supaya kita punya karakter penulisan yang khusus.


Gaya penulisan hidup karena kata-kata dan gaya bahasa. Gaya dan cara berekspresi merupakan dua hal yang berbeda, dan keduanya mendapat tempat yang sama dalam penulisan sejarah. Dalam pengertian ini sejarah adalah seni, sehingga dalam presentasinya menuntut aneka ketrampilan untuk menyusun deskripsi, eksplanasi, aksentuasi serta persuasi, semuanya itu menggunakan kata-kata, dan itu semua nampak dalam gaya penulisan seorang sejarawan.

Di dalam penulisan sejarah (historiografi) hendaknya ditulis dalam gaya dan bahasa resmi (formal). Bentuk karya tulis sejarah dalam bentuk paper, artikel, ataupun buku sejarah, bukanlah surat kepada teman, bukan novel,dan bukan pula cerita pendek. Karya tulis ilmiah yang ditulis dengan bahasa dan gaya yang asal-asalan akan sangat menggangu, terutama audiens kedua atau ilmuwan, dan akan menurunkan rasa respek terhadap penulis.

Dengan penggunaan bahasa resmi (formal) penulisan tidak berarti harus muluk-muluk (stilted) dan bergaya (stylized). Malahan setiap sejarawan hendaknya berusaha untuk mengembangkan gaya personal (pribadi)-nya sendiri dan gaya formal khusus dengan menyatupadukan diri kepribadian (personalitas )-nya ke dalam gaya bahasa yang digunakannya. Namun demikian, dalam karya-karya tulis formal, personalitas (kepribadian) penulis harus selalu mengambil tempat yang kedua sesudah argumentasi.

James Joyce dan Getrude Stein membuat rumus tentang cara menulis karya tulis sejarah yang baik dengan dirumuskannya ke dalam ’’Lima Hendaknya’’ (Five Do’s) dan ’’Empat Jangan” (Four Don’ts) sebagai berikut :

Pedoman "Lima Hendaknya" di dalam penulisan sejarah sbb :
1. Konsisten
Penulisan yang konsisten merupakan perjuangan tersendiri sebagai suatu pilihan yang bijaksana, sebagaimana diungkapkan oleh Emerson satu abad yang lalu. Inkonsistensi dalam gaya dan penggunaan kata akan mengacaukan, mengganggu serta menyulitkan pemahaman pembaca atau audiens, yang pada gilirannya akan mengurangi apresiasi mereka pada karya kesejarahannya.
Penulis yang baik seharusnya konsisten dalam ejaan dan tata tulis, detail, dan dalam gaya dan nada. Penulis harus konsisten menggunakan bentuk tersebut dalam seluruh karyanya, sekalipun penulis memilih salah satu di antaranya. Demikian juga di dalam penggunaan istilah-istilah (terminologi) ilmiah ataupun teknologi harus dipertahankan konsistensinya. Variasi penggunaan istilah hanya akan mengacaukan daripada memperindahnya.

2. Sederhana
Penulisan yang baik harus disertai dengan penggunaan kata-kata dan ekspresi secara lebih efektif. Ini bukan berarti penulis harus membuat seluruh kalimatnya pendek-pendek dan menolak deskripsi yang detail serta hanya membatasi pembicaraan secara garis besar saja, namun yang dimaksudkan ialah bahwa setiap kata yang digunakan haruslah bermakna. Sejarawan harus mencermati penggunaan kata demi kata, membuang kata yang tak perlu dan menuangkan kembali ke dalam kalimat-kalimat yang lebih padat dan berkekuatan.

3. Spesifik, Konkret, dan Tepat
Sebagai seorang sejarawan hendaknya juga berketetapan hati untuk menggunakan bahasa yang mudah dan konkret untuk menuangkan gagasan-gagasan sejarah melalui kata-kata yang khusus tetapi tepat. Pilihan kata-kata yang kurang tepat akan menimbulkan salah pengertian. Beberapa kata-kata memiliki arti tertentu dan pasti, di samping persamaan, namun berbeda pula penggunaannya, karenanya seorang sejarawan perlu mencermati pilihan katanya. Sering dijumpai kekurangtepatan dalam penggunaan kata-kata seperti perundingan, perjanjian, dan persetujuan, antara kata-kata konvensi, konferensi, dan kapitulasi, antara kata-kata pembrontakan dan perlawanan, karena banyak sejarawan menulis tanpa kamus di tangannya. Yang betul adalah ’’Penandatangan Naskah Persetujuan Perundingan Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947,’’ karena seperti ditunjukkan pada pernyataan yang pertama yang harus ditandatangani adalah produk perundingan,yakni persetujuan (Linggarjati). Juga bukan ’’Pembrontakan Diponegoro’’ melainkan ’’Perlawanan Diponegoro,’’ karena istilah pembrontakan masih menggunakan pendekatan neerlando sentris, sedang perlawanan sudah menggunakan indonesia sentris.
Di dalam ini bukan sekedar masalah ejaan saja, lebih-lebih harus disadari kebutuhan akan kecermatan dalam penggunaan kosa kata (vocabulary). Jika para penulis berpengalaman masih perlu menggunakan kamus, sudah semestinya orang-orang baru (novici) hendaknya mengikuti teladannya. Untuk memberikan kepastian definisi-definisi, terutama bila ragu-ragu, sebaiknya menggunakan sumber-sumber referensi seprti kamus dan ensiklopedi.
Kesalahan-kesalahan gramatikal jelas menandai kekurangcermatan kerja. Banyak dosen mengeluh karena mahasiswa bimbingannya kurang menguasai struktur kalimat yang benar, seperti kalimat tanpa subjek atau tanpa predikat, anak kalimat ’’bergantung’’ tanpa induk kalimat, dan sebagainya. Akhirnya penulis mesti menjelaskan semua singkatan, nomer-nomer, simbol-simbol, chart, grafik, yang tercantum dalam teks karya tulis. Penjelasan ini dapat diberikan secara langsung dalam teks, atau dengan catatan kaki ataupun catatan tubuh, atau dalam lampiran.

4. Struktur yang Seimbang
Suatu kalimat hendaknya mempunyai struktur yang seimbang. Kalimat akan seimbang bila terjaga dengan rapi struktur paralelnya, antara kata benda, kata sifat atau pun kata keterangan. Kalimat seperti : ’’Politisi bersifat congkak, penipu dan membohong.’’ bukanlah kalimat yang seimbang, karena kata ’’membohong’’ berbentuk kata kerja, sedang kata-kata ’’congkak’’ dan ’’penipu’’ berfungsi sebagai kata keadaan (sifat). Kalimat itu akan menjadi seimbang, bila diubah menjadi : ’’Politisi bersifat congkak, penipu, dan pembohong.’’
Struktur penulisan kalimat yang seimbang akan enak dibaca, di samping itu juga akan terlihat indah, juga memiliki efektivitas makna yang tinggi. Maka perlu diperhatikan selang-seling dalam penulisan antara kalimat panjang dan pendek, irama, dan tekanan kata. Kalimat panjang mengalun, akan membawa orang menjadi tidur, sedang kalimat pendek dengan irama dan tekanan kata yang menghentak-hentak akan menghasikan efek staccato.

5. Peralihan yang Halus dan Alami (natural)
Kalimat yang ada dari keseluruhan karya tulis hendaknya alunannya mengalir dengan halus dan anggun tanpa diganggu oleh interupsi-interupsi aneh dan tak perlu. Antara kalimat yang satu dengan yang lain hendaknya peralihannya lancar dan lembut, agar enak dibaca dan didengar. Kalimat-kalimat penghubung ’’Kita akan beralih kepada ........’’, ’’Sekarang akan kita tunjukkan.......,’’ dan ’’Berkenaan dengan ......’’ dan lain-lain tak perlu digunakan apabila penulis trampil dan menciptakan kalimat dengan lembut.


Pedoman "Empat Jangan" di dalam menulis karya tulis sejarah yang perlu menjauhi sbb :
1. Jangan Menggunakan Bahasa Tak Resmi (Formal).
Penggunaan logat perlu dihindari, dialek, bahasa klise, ungkapan usang, dan kata-kata atau frasa-frasa asing. Penulis yang baik akan mampu menciptakan gaya bahasa yang hidup tanpa harus menggunakan ungkapan-ungkapan klise, namun dengan menciptakan frasa-frasa baru yang lahir karena kedekatan dengan subjek dan sensivitas ekspresi artistiknya.

2. Jangan Menggunakan Kutipan yang Terlalu Banyak.
Banyak dan panjangnya kutipan hanya akan merusak keutuhan karya tulis serta memberikan kesan kepada pembaca mengenai kurangnya kemampuan interpretasi penulis. Boleh saja menggunakan kutipan hanya saja kutipan tersebut haruslah sesuai dengan tiga fungsi utamanya, pertama untuk memberikan koroborasi, kedua memberikan ilustrasi suatu makna, dan ketiga untuk mempertinggi pengarunya (impacts).

3. Jangan Menggunakan Kalimat Pasif.
Penggunaan kalimat pasif menunjukkan bahwa penulis gagal mengidentifikasi pelaku yang bertanggungjawab atas peristiwa atau kejadian. Ungkaspan-ungkapan kalimat seperti : ’’Telah ditangkap .........’’, ’’Telah diungkap.........,’’ ’’Diumumkan kepada khalayak...........’’ dan lain-lain menunjukkan tidak jelasnya siapa pelaku atau subjeknya. Bentuk pasif menghilangkan daya vitalitas suatu kalimat, di samping merampas informasi yang diberikan. Karenanya kalimat pasif hanya boleh digunakan bila penulis sungguh-sungguh tidak tahu siapa pelaku dari suatu kejadian atau peristiwa.

4. Jangan Menyalahgunakan Bentuk-bentuk Retorik.
Bentuk kalimat retorik yang digunakan secara berlebihan seperti metapora, hiperbola, persamaan, iromi, alliterasi, repetisi, dan pertanyaan retorik, hanya akan ditanggapi oleh pembaca atau audiens dengan : ’’Cukup, cukup......! ’’ Bentuk retorik seperti halnya makanan pencuci mulut, sedikit akan memuaskan, banyak akan membosankan.

Artikel Sejenis :



Tidak ada komentar: