Custom Search

Minggu, 27 April 2008

Ekonomi China


PERKEMBANGAN EKONOMI CHINA

Faham komunis dan sistem politik tertutup yang dianut negara ini dulu – bahkan dijuluki negara tirai bambu– mengakibatkan Cina sedikit dikucilkan dalam pergaulan internasional. Dari segi wilayah dan penduduk dan wilayah, Cina sangat kecil kemungkinan untuk dikucilkan, tapi kenyataan menunjukan hal demikian. Hal ini disadari oleh Deng Xiaoping. Sejak Xiaoping memegang tampuk kekuasaan pada ahir 1970-an, PKC (Partai Komunis Cina) telah menegaskan legitimasinya dalam menghasilkan pertumbuhan pertumbuhan ekonomi dan menggunakan kekuatan ekonominya sebagai pendokrak untuk mendapatkan pengakuan yang lebih besar secara internasional.
Cina memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi, untuk itu mereka mendirikan lebih dari 2000 Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones, SEZ) di mana hukum investasi direnggangkan untuk menarik modal asing. Hasilnya adalah PDB yang berlipat empat sejak 1978. Pada 1999 dengan jumlah populasi hampir 1,25 milliar orang dan PDB hanya $3.800 per kapita, Cina menjadi ekonomi keenam terbesar di dunia dari segi nilai tukar dan ketiga terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam daya beli. Pendapatan tahunan rata-rata pekerja Cina adalah $1.300. Perkembangan ekonomi Cina diyakini sebagai salah satu yang tercepat di dunia, sekitar 7-8% per tahun menurut statistik pemerintah Cina.

Kekuatan ekonomi ditunjukkan dengan proses industrialisasi yang mapan dan hasil prosuksi yang besar juga. Dibanyak industri, terutama industri padat karya, Cina menjadi pemain global yang dominan saat ini. Pabrik-pabrik Cina memproduksi 70% mainan, 60% sepeda, setengah industri memproduksi sepatu, dan sepertiga industri memproduksi tas di dunia. Cina juga memproduksi setengah oven microwave di dunia, sepertiga televisi dan perangkat AC, seperempat mesin cuci di dunia, dan seperlima lemari esnya; produk ini menunjukan pesatnya pertumbuhan ekspor Cina.[6] Tapi Cina tidak bisa mendapatkan hal-hal ini tanpa minyak, untungnya Cina bisa mengimpor cukup banyak untuk menutupi kekurangannya itu. Namun, kebergantungannya pada komoditas asing hingga sebesar 40% dari seluruh kebutuhannya itu telah membuat Cina benar-benar terjebak dalam posisi sulit.

Karena dipicu oleh posisi yang sulit ini, Cina dan perusahaan minyak raksasa miliknya mencoba dengan semakin tergesa-gesa –karena negaranya menjadi importir penuh minyak bumi pada 1992—untuk mendukung lini suplai dan mengurangi kelemahannya itu dengan menghalalkan segala cara.

Ketiga perusahaan minyak besar milik Cina, yaitu China National Petroleum Corporation (CNPC), China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), dan Sinopec, telah menanamkan modalnya hampir dalam tiga puluh proyek pengembangan minyak dan gas di luar negeri dan telah meraup lebih dari $5 milliar pada akhir 2002. Tetapi, sejarah pendek transaksi-transaksi ini dipenuhi ketidakpastian. Jelas sekali karena tergesa-gesa dan benar-benar membutuhkan, pihak Cina hampir selalu membeli cadangan minyak yang biasa didapatkan dengan harga lebih tinggi daripada harga pasar. Dalam beberapa kasus, transaksi-transaksi yang diatur secara politik menjadi berantakan dan pada kasus-kasus lain, perusahaan-perusahaan minyak asing bermanuver dari para pesaing mereka dari Cina.

Dua puluh tahun yang lalu Cina adalah eksportir minyak terbesar di Asia Timur. Kini, Cina telah menjadi importir minyak terbesar nomor dua di dunia. Pada 2004, Cina membukukan sekitar 31% dalam peningkatan permintaaan minyak dunia. Sehingga, naiknya harga minyak hingga diatas $60 per barel pada pertengahan 2005 bisa dibilang disebabkan oleh tingginya permintaan Cina.

PERKEMBANGAN EKONOMI CHINA
Dengan liberalisasi perekonomiannya, lompatan besar RRT terbukti berhasil hanya dalam tempo sekitar tiga dasawarsa. Pertumbuhan ekonominya kini tercatat paling tinggi di dunia, ditambah surplus perdagangan yang luar biasa. Investasi asing mengalir deras. Dengan rakyat sekitar 1,3 miliar atau 20% dari penduduk dunia, ditambah ongkos tenaga kerja yang murah, RRT merupakan pasar yang sangat menggiurkan. China is the hottest business and investment story on the planet, demikian majalah Time dalam suatu artikelnya dua tahun lalu. Ungkapan tersebut kini semakin nyata. Peningkatan pertumbuhan ekonomi RRT pada akhirnya mempengaruhi tatanan ekonomi global. Menurut Biro Statistik RRT pada 19 April 2007, di triwulan pertama 2007 ekonomi RRT tumbuh 11,1 %, dengan cadangan devisa mencapai 1.2 trilliun dollar AS. Selain itu surplus perdagangan RRT pada bulan Mei 2007 mencapai 22,45 miliar dolar AS, atau naik 73 % dibanding tahun sebelumnya dan tertinggi kedua setelah surplus pada bulan Februari yang mencapai 23,7 miliar dolar AS.

Melihat perkembangan ekonomi RRT, maka wajar negara-negara di Asia berlomba melakukan kerja sama dengan RRT, tidak terkecuali Indonesia. Hubungan Indonesia-RRT sudah dimulai berabad-abad yang lalu. Hubungan di antara kedua negara mengalami pasang surut akibat perbedaan politik kedua negara. Khusus mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan RRT, pernah tidak ada hubungan langsung. Perdagangan dijalankan melalui Hongkong. Setelah RRT membuka diri dalam perdagangan internasional dan RRT tidak menutup diri sebagai negara Tirai Bambu lagi, berangsur-angsur terjadi perdagangan terbuka dan langsung.

Hubungan Indonesia dengan RRT mencapai momentum melalui penandatanganan Joint Declaration between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China on Strategic Partnership oleh kedua Kepala Negara pada tanggal 25 April 2005 di Jakarta. Pada tahun tersebut juga bertepatan dengan ulang tahun ke-55 hubungan diplomatik kedua negara yang dijalin sejak 13 April 1950. Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-RRT meliputi berbagai kerjasama di sektor-sektor politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya dan lain-lain. Selama ini, berbagai macam kegiatan telah diupayakan sebagai bentuk tindak lanjut dari Deklarasi tersebut. Salah satunya adalah Mekanisme Dialog Tingkat Menko-State Councilor, yang pertama diselenggarakan pada bulan September 2006. Dalam pertemuan Dialog dimaksud, telah dibahas berbagai isu terkait dengan hubungan bilateral Indonesia dengan RRT dari sudut pandang makro dan strategis. Selain itu, telah pula disepakati untuk segera membentuk Plan of Action (PoA) sebagai acuan dalam mengimplementasikan Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-RRT, yang akan dikoordinasikan oleh kementerian luar negeri kedua negara.

Selama tahun-tahun terakhir ini, kerjasama perdagangan RRT dan Indonesia mengalami peningkatan. Menurut Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, nilai perdagangan Indonesia dan Tiongkok tahun lalu mencapai 15 miliar dolar AS, pemimpin kedua negara sudah mencapai kesepakatan untuk meningkatkan nilai perdagangan kedua negara sampai 30 miliar dolar AS pada tahun 2010.
Timbulnya RRT sebagai suatu negara yang mempunyai kekuatan ekonomi yang kuat dan menjadi salah satu negara ”super power”, tentunya akan membawa keuntungan bagi para pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Pemerintah RRT. Kondisi tersebut dapat menjadi semacam suatu ”godaan” bagi organisasi Tionghoa di Indonesia untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Pemerintah RRT, bahkan yang lebih dikhawatirkan apabila faham organisasi Tionghoa yang selama ini berfaham kebangsaan sebagai Bangsa Indonesia mulai pupus.

Ada beberapa hal yang patut dicermati etnis Tionghoa khususnya organisasi Tionghoa, diantaranya adalah kebijakan RRT dalam mendukung kepentingan nasional negaranya, dan sikap etnis Tionghoa dalam merespon kondisi baik saat ini. RRT dikatakan sedang menjalani kebijakan soft power, yaitu menggunakan pendekatan ekonomi dan budaya dalam berhubungan dengan negara lain untuk melayani kepentingan nasionalnya sendiri. Termasuk di dalamnya konsekuensi kebijakan untuk menjalin politik bertetangga dan bersahabat baik dengan semua negara di dunia. Hal ini juga mempengaruhi kebijakannya terhadap warga Overseas Chinese, yaitu warga keturunan Tiongkok yang tersebar dan menetap di negara-negara lain di seluruh dunia, dimana Tiongkok menganjurkan kepada warga Overseas Chinese untuk menjadi warga negara yang baik di negara masing-masing yang taat hukum, memajukan pendidikan, membangun ekonomi, membawa harmonisasi sosial masyarakat dan diharapkan menjadi jembatan antara Tiongkok dengan negara masing-masing.

Bila kita melihat sejenak ke masa lalu, hal ini juga pernah diterapkan Perdana Menteri Chou En Lai saat penandatanganan penyelesaian masalah dwikewarganegaraan tahun 1955 di Indonesia. Baru 6 tahun semenjak kemerdekaannya, Tiongkok berada dalam situasi terdesak karena tidak banyak negara yang mau mengakui keberadaannya. Sebelumnya karena Tiongkok menerapkan azas ius sanguinis kepada semua warga negaranya -dimana siapapun yang mempunyai ikatan nenek moyang dengan warga Tiongkok di seluruh dunia diakui sebagai warga negara Tiongkok- banyak negara yang curiga bahwa warga negara keturunan Tiongkok yang tinggal di negara-negara lain akan dijadikan kaki tangan demi kepentingan luar negeri Tiongkok. Sehubungan dengan munculnya negara-negara di Asia yang merdeka setelah perang dunia kedua, dimana sistem ketatanegaraan dan politiknya masih mengikuti pola negara penjajah, maka kedudukan Overseas Chinese di negara-negara Asia Tenggara praktis bermasalah. Termasuk di Indonesia.

Dalam hal ini organisasi Tionghoa, seyogianya tetap menunjukkan sikap nasionalismenya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dengan tidak mengurangi kecintaannya kepada Tanah Air Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis dengan segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chou En Lai, yang pada tahun 1955 menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RRT. Chou En Lai dalam musyawarah dengan wakil-wakil peranakan Tionghoa di Jakarta pada tahun 1955, menganjurkan supaya Huakiao mentaati segala ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis dengan segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia.



Artikel Sejenis :



Tidak ada komentar: