Custom Search

Minggu, 27 April 2008

Ekonomi Jepang


Pembangunan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik tidak lepas dari peran Jepang sebagai penyedia bantuan luar negeri, sebagai pasar Impor, dan sumber investasi asing bagi kawasan Asia-pasifik, hal ini terbukti dengan munculnya negara-negara Industri baru ( NICs, Newly Industrializing Countries)[1] seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Sebenarnya peran Jepang sendiri tidak luput dari peranan sistem Internasional dalam hal ini Amerika Serikat, dalam hal ini Amerika Serikat dengan liberalisme-nya bersedia mendukung keberhasilan dari sistem tersebut. Pada masa yang lalu, telah terbukti betapa model perkonomian Jepang yang liberalis itu ternyata lebih mampu menyesuaikan diri terhadap goncangan-goncangan yang disebabkan faktor eksternal maupun internal di Kawasan Asia, terutama yang berdimensi ekonomi, sehingga menjadikan Jepang sebagai pelopor model perekonomian liberal di Kawasan Asia-Pasifik.

Jepang merupakan suatu negara yang relatif terlambat membangun perekonomiannya, faktor ini membawa dampak kuatnya intervensi negara dalam berbagai kegiatan dan usaha pembangunan ekonomi, untuk itu pemerintah Jepang cenderung untuk mengurangi peranan oposisi dan memperkuat peranan borokrasi demi mencurahkan segala perhatian bangsa kepada upaya pembangunan ekonomi. Bentuk negara ini disebut sebagai negara pembangunan yang berbeda dari model Uni Soviet maupun model negara pengawas yang dianut oleh Amerika Serikat dan negara-negara Industri maju Barat lainnya. Pada model negara pembangunan (development state) di Jepang ada beberapa hal yang sangat membedakannya. Jepang meninggalkan komitmen ideologi yang berlebihan maupun kepemilikan atas semua alat produksi dan sumber daya oleh negara pada dasawarsa terakhir pada abad 19, yaitu ketika korupsi dan efesiensi sudah sedemikian parah hingga memaksa pemerintah Jepang membiarkan pertumbuhan swasta, ada pun pihak swasta yang sekarang ini tumbuh di Jepang sebenarnya adalah hasil koneksi politik dari kelas elit yang berkuasa. Model negara pembangunan ini mencoba menyesuaikan semua tujuan-tujuan pembangunan dengan berlangsungnya mekanisme pasar (di mana harga-harga ditentukan oleh ukuran nilai yang nyata dan bukan oleh keputusan/selera penguasa ; hak milik perorangan diakui secara penuh baik dalam teori, maupun prakteknya; dan pembuatan keputusan disentralisasikan). Sedangkan pada negara-negara yang lebih lamban membangun industri seperti Korea Selatan dan Taiwan, model keterbelakangan ini dipilih sebagai solusi untuk mengatasi aneka masalah keterbelakangan dan ketergantungan mereka kepada pihak-pihak luar.

Model negara pembangunan berbeda dengan regulatory state, yaitu bentuk pemerintahan dan pola ekonomi yang bisa dijumpai di Amerika Serikat. Model ini juga melakukan intervensi ke berbagi kegiatan ekonomi, hanya intervensi ini dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya persaingan bebas, yaitu untuk mengawasi dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat bekerja dalam aturan permainan yang berlaku demi tercapainya efesiensi dan efektifitas. Negara pembangunan sendiri lebih menaruh perhatian kepada upaya-upaya untuk peningkatan kemampuan dan saing internasional dari sektor-sektorindustri domestik. Jelas ini diserahkan kepada suatu kebijakan yang bersifat nasionalis. Pelaksanaannya akan diserahkan kepada kalangan birokrasi berdasarkan proses konsultasi, kooperasi, dan kompetisi dengan pihak swasta dan politisi.

Perkembangan ekonomi di Asia-Pasifik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Jepang dan segala dampaknya di kawasan ini dari masa ke masa. Dalam kedudukannya sebagai negara hegemoni yang sangat berkepentingan atas kelanggengan sistem internasional pasca perang dunia kedua, maka seluruh pengaruh Amerika Serikat juga harus diperhitungkan. Kepentingan dan pengaruh Jepang atas Korea Selatan dan Taiwan ini terbagi ke dalam dua periode. Pertama pada perang dunia kedua dan setelah perang dunia kedua, pada periode pertama proses awal industrialisasi yang diperkenalkan Jepang telah ikut melibatkan sekelompok usahawan kecil yang bekerja di sektor pengolahan yang kemudian menjadi cikal bakal kelas pengusaha yang tangguh di Korea Selatan dan Taiwan tentunya atas arahan dari pemerintahan Jepang yang dulunya pernah memerintah Korea dan Taiwan beberapa tahun, sedangkan kondisi setelah perang dunia kedua adalah Korea Selatan dan Taiwan termasuk juga Jepang sendiri masuk kedalam hegemoni Amerika Serikat dimana setiap tindakan dan kondisi Amerika Serikat mempengaruhi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik termasuk Jepang sendiri walaupun tanpa menghilangkan sedikitpun model negara pembangunan.

Ekonomi pasar bebas dan terindustrisasi Jepang merupakan ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Tiongkok dari segi paritas daya beli internasional. Ekonominya sangat efisien dan bersaing dalam area yang berhubungan ke perdagangan internasional, tapi produktivitas lebih rendah di bidang agriklutur, distribusi, dan pelayanan.

Kerjasama di antara pemerintahan dan perindustrian, etika kerja yang sehat, penguasaan teknologi, penekanan terhadap pendidikan dan alokasi yang kecil untuk pertahanan (1% dari PDB) merupakan antara faktor-faktor yang memungkinkan Jepang berkembang pesat sehingga menjadi salah satu negara yang setanding dengan Amerika Serikat dan EU dari segi penguasaan ekonomi.

Ciri-ciri ekonomi jelas termasuk kerjasama dalam pengilangan, pembekalan, pengedaran, dan bank dalam kelompok yang terkait rapat yang dikenal sebagai keiretsu; perusahaan swasta berkuasa dan shunto; hubungan baik dengan birokrasi pemerintahan, dan jaminan karir sepanjang hayat (shushin koyo) untuk hampir sepertiga tenaga kerja di kota, biasanya kilang kolar biru dengan perusahaan kerja yang kuat. Perusahaan kecil dan sederhana, wanita, dan pekerja asing biasanya tidak mempunyai fasilitas seperti itu. Bagaimanapun, kebanyakan ciri tersebut semakin terkikis, dan keadaan ekonomi kini sedang berhadapan dengan stagnasi.

Perindustrian merupakan sektor ekonomi yang paling utama buat Jepang yang amat bergantung kepada pengimporan bahan mentah dan minyak. Pertanian yang merupakan sektor ekonomi yang kecil mempunyai subsidi yang tinggi dan merupakan satu sektor yang dilindungi. Ini dapat dilihat dengan jelas pada pertanian yang melibatkan beras. Beras yang diimpor dikenakan pajak sebanyak 490% dan pemerintahan hanya membolehkan kuota sebanyak 3% jumlah beras yang ada di pasaran beras. Selain mengawal pasaran beras, Jepang juga mengadakan usaha untuk menciptakan buah-buahan dan sayur-sayuran yang mempunyai rasa yang sedap namun mahal. Namun begitu ia sangat berkualitas tinggi. Biasanya Jepang mampu menampung keperluan beras rakyatnya sendiri (kecuali penggunaannya untuk membuat kerupuk nasi dan makanan diproses), namun negara ini perlu mengimpor kira-kira 50% keperluannya bagi jenis sereal lain dan makanan ternak Jepang mempunyai salah satu industri perikanan yang terbesar di dunia yang mencakup hampir 15% penangkapan ikan seluruh dunia, mendorong pada dugaan bahwa perikanan Jepang sedang mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan di laut yang mendadak, khususnya ikan tuna.

Secara keseluruhan, selama tiga dekade, pertumbuhan ekonomi sebenarnya amat mengagumkan: mencatatkan rerata 10% pada dekade 1960-an, rerata 5% pada 1970-an, dan rerata 4% pada 1980-an. Pertumbuhan ini namun mulai menguap pada dekade 1990-an, terutamanya disebabkan dampak sampingan perburuhan secara berlebihan ketika lewat 1980-an dan dasar-dasar ekonomi pengurangan inflasi yang bertujuan memerah keluar kelebihan spekulasi pasaran saham dan penjualan tanah. Usaha-usaha pemerintahan untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi kurang berhasil dan terus terjepit pada tahun 2000-2001 akibat ekonomi AS dan benua Asia turut menjadi lembab.

Hal itu menyebabkan PM Junichiro Koizumi mengesahkan atau meluluskan (tetapi adakalanya gagal) undang-undang perburuhan asing dan swastanisasi secara besar-besaran yang dipercayainya dapat membantu merangsang kembali ekonomi Jepang yang lengang ini. Sejauh ini undang-undang tersebut kelihatan menunjukkan dampaknya dalam pelbagai aspek seperti perburuhan asing, namun ini belum dapat membantu ekonomi Jepang untuk tumbuh kembali. Koizumi juga mencoba untuk meluluskan rancangan swastanisasi besar yang akan menswastakan semua kantor pos pemerintahan Jepang. Dalam fase pertamanya, menjelang 2007, kantor-kantor ini terbagi pada tujuh entitas dan daripadanya, entitas-entitas tersebut barangkali akan diambil alih oleh perusahaan-perusahaan besar.

Penyesakan kepadatan penduduk serta "penuaan" populasi (jumlah ManULa makin ramai, mengakibatkan penurunan populasi seperti yang diperkirakan) merupakan dua masalah jangka masa panjang yang utama, bahkan juga peningkatan biaya pemeliharaan kesihatan. Industri robot dijadikan kekuatan ekonomi jangka masa panjang yang amat penting, menyaksikan Jepang mempunyai 410.000 dari 720.000 buah robot yang berfungsi di seluruh dunia.


Artikel Sejenis :



Tidak ada komentar: