Era globalisasi merupakan bukan suatu hal baru bagi Indonesia, karena sudah ada sejak zaman Hindu di Nusantara, dan dilanjutkan selama penjajahan Belanda lewat keterlibatan bangsa kita dalam perdagangan Dunia. Menyangkut hal ini, Clifford Geertz menyatakan bahwa keadaan sosio-ekonomi di Indonesia harus dilihat dari dua perspektif berbeda, yaitu masyarakat dengan ekonomi tradisional dan masyarakat dengan ekonomi berbentuk perusahaan.
Salah satu pemikiran Geertz yang mengandung relevansi dan merefleksikan kondisi masyarakat dan kebudayaan kita masa kini yaitu tesis tentang involusi pertanian. Ini bisa dilacak dalam buku Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia (1963). Tesis tersebut dapat dipaparkan secara singkat sebagai berikut.
1. Kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) yaitu membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi. Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia, seperti halnya Inggris pada masa yang sama, sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda.
2. Upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional yaitu mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur
ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh J.H. Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.
3. pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia.
4. akibatnya yaitu semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang–hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan–dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa yaitu produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi.
Usaha ekonomi tradisional (mikro) biasanya dijalankan dengan menuntut kemandirian pelakunya sebagai faktor penentu kemajuan usaha. Selain itu, usaha tingkat mikro biasanya juga melahirkan kesetiaan pada para penganutnya. Misalnya para penjual jamu, pedagang kaki lima, pemilik warteg, para pengrajin, yang tetap bertahan pada skala usaha kecil dari remaja sampai tua.
Bisnis yang berskala perusahaan / tingkat makro biasanya bermodalkan berbagai instrumen teknologi digital, keterampilan manusia unggul, ongkos sosial yang tidak kecil, dan biaya lingkungan yang mahal. Etos kerja bisnis skala besar ini pun tentu berbeda dengan skala bisnis mikro, kecil / maupun menengah.
Ekonomi modern kadang diidentikkan dengan proses industrialisasi dan juga westernisasi, maka untuk itu kita tidak dapat mengatakan bahwa kita hanya bersedia menerima mesin serta teknologi dunia modern dengan menolak begitu saja penjelmaan-penjelmaan lain dari kebudayaannya. Untuk menguasai mesin dan teknologi kita perlu mengerti lebih dahulu, yaitu menyelami dan mengerti kebudayaan dan jiwa (barat) yang menciptakannya.
Jadi, ada dualisme ekonomi yang berjalan dengan dinamika masing-masing yakni modern dan tradisional. Sudah tentu dalam dualisme itu, sektor modern lebih canggih dan cepat bergerak ketimbang sektor tradisional yang statis dan marginal.
Di masa kolonial, dualisme ini juga pernah diungkapkan Dr. J.H. Boeke sewaktu menjadi penasihat pemerintah kolonial Belanda di masa politik etis, yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Hingga saat ini pun pendapatnya masih sering diperdebatkan; ada yang pesimis dengan kemitraan bisnis kecil dan besar, dan ada yang optimis suatu saat akan tercapai sinergi antara keduanya.
Menurut Boeke masyarakat dualistis, yaitu suatu masyarakat dimana terdapat adanya pertarungan antara sistem sosial yang datang dari luar dan sistem sosial yang asli. Bagi Boeke, dualistis berarti juga “timur”, karena itu ekonomi timur dapat juga disebut ekonomi dualistis, sebab kedua-duanya mencakupi situasi asli yang sama.
Ciri-ciri dari ekonomi dualistis yaitu:
1. Kebutuhan yang dirasakan masyarakat terbatas, sehingga tidak ada respons daripada produksi terhadap perubahan harga. Kalau upah naik, maka akan dikurangi jam kerja, kebutuhan manusia lebih bersifat sosial daripada bersifat ekonomi
2. Pengusaha-pengusaha timur kurang bermutu, kekurangan organisator, dan menyerah kepada takdir. Mereka bukannya anti profit tapi lebih tertarik pada usaha-usaha yang spekulatif.
Karena perekonomian barat berbeda dengan perekonomian timur, maka Boeke, mengatakan teori ekonomi barat samasekali tidak berlaku di timur. Perbedaan teori ekonomi barat dan teori ekonomi timur ialah:
1. Teori ekonomi barat didasarkan pada anggapan adanya keinginan yang tidak terbatas, adanya organisasi perusahaan yang kompleks. Pada hal-hal itu tidak ada timur.
2. Teori ekonomi barat memberikan penjelasan tentang keadaan masyarakat yang kapitalistis pada padahal masyarakat timur masih berada dalam pre-kapitalistis.
Implikasi dari pendapat boeke ini ialah, cara terbaik membantu Negara-negara sedang berkembang yaitu dengan jelas membiarkannya saja. Berdasarkan teori ini Boeke berpendapat bahwa:
1. Tidak mungkin diadakan suatu kebijakan yang berlaku buat seluruh negeri
2. Apa yang baik bagi suatu bagian masyarakat mungkin tidak baik buat bagian-bagian lainnya
Dibidang pertanian, usaha memperbaiki metode-metode pertanian, akan membawa kemunduran, kecuali jika sikap mental dari petani dirubah. Menurut Boeke kebiasaan rakyat pedesaan secara keseluruhan disesuaikan dengan keadaan, sehingga metode pertanian juga harus disesuaikan dengan keadaan tersebut.
Menurut Boeke bahwa usaha-usaha untuk perbaikan-perbaikan petanian dan industry harus dilakukan secara perlahan-lahan, kecil-kecilan dan disesuaikan dengan rangka dasar yang dualistis.
Transmigrasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, hanya memindahkan persoalan penduduk dari pulau jawa keluar pulau jawa, sehingga tidak memperbaiki keadaan ekonomi. Latihan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia tidak ada gunanya sebab mereka tidak dikuti bawahannya Dualisme tersebut juga menjadi kegelisahan Bung Hatta hingga mengingatkan bagaimana caranya agar kita tidak tergelincir pada pilihan politik perekonomian yang keliru yaitu yang membunuh akar kolektivisme itu perlahan-lahan dan membuka peluang seluas-luasnya kepada kapitalisme yang seperti dikatakan Boeke: kapitalisme yang berusia penuh ini masuk ke Indonesia sebagai perampas dan menaklukkannya dalam beberapa puluh tahun saja. Dengan memakai analisis Boeke, Bung Hatta ingin mengatakan bahwa politik ekonomi kolonial telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk kapitalisme yang keras hati dan merusak infrastruktur sosial tradisional yang ada tanpa dapat menggantinya.
Sebagai penerus tradisi pemikiran pendahulunya Bung Hatta menjawab dengan sistem koperasi. Sistem ini dipilih karena ia mampu menampung nilai-nilai tradisional serta menjawab kebutuhan-kebutuhan personal dan komunal. Bagi Boeke, sistem bisnis koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar