Custom Search

Rabu, 04 Juni 2008

Tindak Kekerasan Polisi

Fenomena kekerasan Polisi, bukan lagi hal yang asing kita dengar dari berbagai media yang ada. Ironisnya, kekerasan yang dilakukakan oleh para Polisi tersebut, sudah menjadi suatu fenomena, bukan hanya dalam batasan kasus saja. Dalam artian, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Polisi memang sudah sering terjadi dan terjadi.
Berita tentang kekerasan yang dilakuakan aparat kepolisian, dimana tindakan yang dilakukan, di luar batas kewajiban dan perkara yang harusnya ditangani. Kasus yang bisa dicatat seperti kasus pengeroyokan polisi terhadap warga di Paringin (Balangan), yang dilakukan oleh aparat terhadap warga sipil dan yang dilakukan oleh polisi itu sendiri teerhadap sesama anggota, seperti yang dilakukan oleh Briptu Hance Christian terhadap atasannya Wakil Kepala Polwiltabes Semarang, AKBP Lilik Purwanto.
Fenomena kekerasan polisi ini pantas menjadi renungan bagi kita. Tugas utama polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat, namun kenapa pelanggaran justru terjadi oleh aparatnya sendiri? Tentunya bukan secara institusional kepolisian yang bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan kriminal tersebut telah mencoreng nama baik korps.

Hal ini memang menjadi tanda tanya besar buat kita semua, terutama kita sendiri selaku warga sipil disini yang membutuhkan perlindungan dari aparat Negara tersebut. Selain itu, apabila kita lihat dari makna lambang yang ada di dada yang bertuliskan Ratra Sewakottama, yang berarti bahwa mereka adalah abdi utama rakyat dan juga isi dari Tribrata serta Catur Prasetya yang merupakan pedoman hidup para anggota Polisi tersebut, dapat kita lihat bahwa telah terjadi pergeseran. Dimaksudkan bahwa, banyak anggota yang sudah tidak lagi mengamalkan pedoman korps mereka dalam kehidupan mereka.


Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, antara lain menetapkan kedudukan Polri sebagai alat negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang kepolisian preventif dan represif dalam rangka criminal justice system, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri. Tentunya, objek riil dari pengamanan itu adalah masyarakat. Artinya, diperlukan kerjasama dan saling pengertian yang positif antara Polri dan masyarakat.
Tuntutan itu diakomodasi dalam Penjelasan Huruf c Ayat (1) Pasal 38 UU 2/2002. Di situ diuraikan, “yang dimaksud dengan keluhan dalam ayat ini, menyangkut penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminatif, penggunaan diskresi yang keliru, dan masyarakat berhak memperoleh informasi mengenai penanganan keluhannya.”

Bukan hanya itu, dunia juga memperhatikan kewenangan polisi. Juga mengatur cara dan aturan penegakan hukum dalam penggunaan kewenangan kepolisian (Code of Conduct for Law Enforcement Officials = CCLEO) Resolusi PBB Nomor 34/169 tanggal 17 Desember 1979. CCLEO memang bukan traktat tetapi instrumen, pedoman otoritatif pada pemerintah kepolisian selaku penegak hukum terdepan agar tetap dalam koridor hukum dan HAM. CCLEO menjabarkan penggunaan kekuatan (upaya paksa) ‘kekerasan’ harus fungsional, profesional dan proporsional. Fungsional, berarti sesuai dengan UU. Profesional, cara penggunaannya sesuai taktis teknis prosedural. Proporsional, berarti telah melewati tahapan disesuaikan ancaman gangguan yang dihadapi.

Dewan Parlemen se-Eropa menjabarkan resolusi PBB itu dengan mengeluarkan The Declaration on The Police (DP), yang memuat aturan penggunaan kekuatan polisi secara rinci. Termasuk, jika kepolisian menghadapi keadaan darurat perang atau pendudukan oleh kekuatan asing. Yang menarik, DP itu juga merupakan panduan agar polisi lebih demokratis berani menolak perintah atasan atau pimpinan yang melanggar konstitusi/hukum (Pasal 3). Tanggung jawab atas kelalaian tindakan (malactions) di lapangan, bukan pada pimpinan atau komandan tetapi pribadi yang bertugas di lapangan itu (Pasal 9).

Ini artinya, kiblat ketaatan polisi adalah konstitusi negara bukan personal atasan. Selain itu, tindakan personal ditekankan sebagai pertanggungjawaban pribadi. Untuk memandang kasus kekerasan yang terjadi selama ini, setidaknya terdapat beberapa faktor.

Pertama, faktor psikologis personal. Kompleksitas tugas polisi di lapangan menyebabkan mereka mudah stres dan frustrasi. Bahkan tugas tersebut sering mengundang bahaya. Hal ini karena tugas polisi sangat berat dan berbahaya jika dibandingkan dengan penegak hukum lainnya, misalnya hakim dan jaksa. Meskipun sama-sama penegak hukum, tetapi polisi dalam menjalankan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat. Selain tingkat ancaman dan risiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal hari libur dan cuaca. Polisi bekerja sepanjang waktu. Kondisi kerja yang berbahaya merupakan salah satu sumber terjadinya stres kerja. Stres kerja juga dapat terjadi di lingkungan kerja polisi, yang dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, cepat dan tanggap dalam mengatasi berbagai masalah. Kondisi ini yang kemungkinan besar mendorong agresivitas polisi dalam penanganan sebuah perkara.

Kedua, faktor kebanggaan korps. Kebanggaan yang berlebihan seringkali menjadikan arogansi korps. Diakui maupun tidak, menjadi seorang anggota TNI atau Polri adalah sebuah prestasi bagi sebagian orang. Artinya, identitas tersebut adalah sebuah pencapaian yang dihargai tinggi. Dalam tradisi militer, dikenal istilah korsa (kebersamaan) dan kebanggaan korps. Pembelaan terhadap sesama anggota korps adalah bentuk kebersamaan itu. Parahnya pada saat anggota tersebut tersangkut persoalan pribadi, lalu terjadilah fenomena bentrokan dengan warga seperti terjadi di Paringin kemarin. Kebanggaan korps ini, juga sering menyebabkan bentrokan antarelemen. Misalnya antara TNI dengan Polri. Arogansi yang muncul menjelma menjadi agresivitas yang memalukan.

Ketiga, faktor ekonomis. Jika boleh jujur, sebetulnya belum ada keseimbangan antara beban tugas yang harus diemban aparat kepolisian dengan gaji yang diterimanya. Kesejahteraan aparat kepolisian selama ini belum sebanding dengan amanat yang diemban. Maka, menjadi tidak aneh misalnya jika ada polisi yang nyambi sebagai ojek atau pekerjaan lain yang tidak ada kaitan apa pun dengan pengamanan.

Gaji polisi di Indonesia pangkat terendah, nol tahun pengalaman kerja, berbeda jauh sekali jika dibandingkan dengan gaji karyawan bank di Indonesia (golongan terendah). Gaji yang diterima polisi berpangkat terendah dan nol tahun pengalaman kerja sebesar 26 persen dari gaji karyawan bank di Indonesia golongan terendah.
Itu sebabnya, mengacu standar PBB, kesejahteraan anggota Polri adalah yang terendah di Asia. Dengan indikator gaji polisi pangkat terendah dan nol tahun pengalaman kerja diperbandingkan gaji karyawan bank golongan terendah di negara masing-masing, diketahui gaji polisi kita 26 %. Sedang gaji polisi Vietnam 35 %, Thailand 58,1 %, Malaysia 95,9 %, Singapura 109 %, Jepang 113,2 % dan Hong Kong 182,7 %. (Anton Tabah, 2002). Karena itu, usulan penaikan gaji bagi anggota Polri cukup rasional untuk segera direalisasi.

Setidaknya tiga faktor itu juga bisa menjadi penyebab agresivitas dan kekerasan yang dilakukan personal. Kontrol sistem yang diturunkan negara, kedisiplinan anggota dan kesejahteraan personil Polri hendaknya diperhatikan oleh negara. Masyarakat juga secara proaktif mengawasi perilaku aparat. Selain itu, harus menjalin komunikasi intensif dengan polisi. Memandang adil pada polisi, bahwa keberadaan mereka sangat penting bagi kita.

Artikel Sejenis :



Tidak ada komentar: