Gender Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender)
Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan (2002:3), Pengarusutamaan Gender yaitu salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender, melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaa, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek, kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Tujuan dari Pengarusutamaan Gender ini yaitu memastikan apakah laki-laki dan perempuan memperoleh akses, partisipasi, control, dan manfaat yang sama dalam pembangunan. Dengan melakukan Pengarusutamaan Gender, dapat diidentifikasi kesenjangan gender, yang bisa menimbulkan permasalahan gender. Dan tujuan akhir dari Pengarusutamaan Gender yaitu mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender (Juklak Inpres No. 9 tahun 2000).
Untuk menciptakan gender sebagai arus utama dalam setiap organisasi perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Menjadikan kesetaraan gender sebagai misi organisasi
b. Menerjemahkan misi tersebut ke dalam tujuan dan sasaran operasional serta mengaplikasikannya dalam program organisasi yang sensitife gender
c. Mengembangkan pola kepemimpinan yang sensitife gender
d. Mengembangkan pola hubungan di luar maupun ke dalam lingkungan organisasi yang sensitife gender
e. Mencegah penggunaan bahasa, ataupun atribut yang bias gender dalam komunikasi organisasi
f. Membebaskan system pembagian kerja yang bias gender
g. Menciptakan aturan-aturan yang melindungi anggota organisasi (terutama perempuan) dari praktek-praktek diskriminasi, kekerasan atau pelecehan yang berlatar belakang perbedaan gender.
h. Mendayagunakan sumber daya organisasi untuk mendukung upaya kesetaraan gender.
i. Menciptakan jaringan dan kolaborasi dengan lingkungan luar sehingga upaya kesetaraan di masyarakat dapat berlangsung dengan cara lebih integrative (Muhadjir Darwin, 2001 : 257).
Selain itu, diterbitkan pula Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non Departemen dan pemerintah propinsi dan kabupaten / kota harus melakukan Pengarusutamaan Gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002 :1)
Konsep pembangunan gender tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan SDM dengan cara keseluruhan karena pembangunan gender berorientasi pada :
a. Produktifitas
Perempuan mempunyai potensi dan kemampuan dalam meningkatkan produktifitasnya dan berpartisipasi penuh dalam mencari penghasilan dan lapangan kerja
b. Pemerataan
Setiap perempuan harus memiliki kesempatan yang sama. Semua hambatan untuk akses dan kesempatan mereka dalam berbagai bidang kehidupan harus dihapuskan sehingga mempunyai peluang yang sama dengan laki-laki.
c. Pemberdayaan
Semua perempuan hendaknya berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses mempengaruhi kehidupan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang utuh terhadap pembangunan.
d. Berkelanjutan
Akses perempuan terhadap sikap peluang dan kesempatan bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua bentuk sumber daya fisik, alam perlu selalu diperbarui dan dikembangkan dengan cara terus menerus (Depdiknas, 2003 :Lamp. A4-A5).
Kebijakan-kebijakan yang ada tersebut berorientasi untuk menjadikan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sasaran akhir dari setiap tahapan atau kegiatan dalam pembangunan. Untuk mencapai sasaran kesetaraan dan keadilan gender tersebut maka diperlukan suatu metode atau alat dalam penyusunan program responsife gender sehingga dibutuhkan suatu analisis gender yang berguna untuk memperkuat dan memperkritis persoalan yang ada. dengan cara umum dalam analisis gender diakui adanya hubungan-hubungan gender yang timpang atau tidak setara dalam masyarakat (HIVOS, 1996).
Analisis Gender, seperti dikutip dari pusat penelitian dan pengembangan Gender UNS (2003: 52-53), merupakan suatu alat (tolls) yang menjadi dasar dari setiap proses Pengarusutamaan Gender baik dari aspek kebijakan, program maupun kegiatan yang akan dikembangkan / dilaksanakan. Analisis gender dilakukan sebagai langkah awal dalam rangka penyusunan program dan kegiatan yang responsive gender. Analisis gender dimulai dengan data dan fakta serta informasi tentang gender, yaitu data terpilah antara laki-laki dan perempuan, baik dengan cara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan analisis gender diharapkan kesenjangan gender dapat diidentifikasi dan dianalisis sehingga dapat ditemukan langkah-langkah pemecahan masalahnya dengan cara tepat. Analisis gender sangat penting, khususnya bagi para pengambil keputusan dan perencana disetiap sector, karena dengan analisis gender diharapkan masalah gender dapat diatasi atau dipersempit sehingga program yang berwawasan gender dapat diwujudkan.
Ada beberapa teknis analisis gender yang dapat dipergunakan, yaitu analisis gender Moses, Harvard, Longwe, Munro, Capacities and Vulnerabilities Analysis (CVA), Gender Analysis Matrix (GAM), The Logical Framework Matriks-Logframe ( Matrik Kerangka Kerja Logik) dan teknik participatory Rural Apprasial (PRA) Berdimensi Gender (Trisakti H, 2002) serta Gender Analysis Pathway (GAP). Adapun setidaknya ada beberapa analisis gender yang sering digunakan dalam perencanaan dan pembangunan responsive gender yaitu Moser, Harvard dan GAP. Dalam hal ini tidak semua akan dijelaskan dengan cara terperinci, kecuali untuk model Moser yang akan digunakan dalam penelitian ini, sedangkan yang lain yaitu untuk pembanding.
Teknik Analisis Model Gender Analysis Pathway (GAP)
Gender Analysis Pathway (GAP / Kerangka Analisis Gender) merupakan salah satu alat analisis gender yang dapat membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan atau program pembangunan.
Metode GAP yaitu metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, peran, manfaat dan control yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program pembangunan.
Dengan GAP dapat diidentifikasi kesenjangan gender dan permasalahan gender serta sekaligus menyusun rencana / kebijakan/program/ proyek kegiatan yang ditujukan untuk memperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut.
Terdapat empat tahapan utama dalam metode ini, yaitu :
1.) Menganisis kebijakan responsife gender.
2.) Menformulasikan kebijakan responsife gender dengan menyusun sasaran kesetaraan dan keadilan gender sebagai upaya untuk mengurangi atau menghapuskan kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan.
3.) Menyusun rencana aksi dan sasaran kebijakan kesetaraan dan keadilan gender.
4.) Melakukan pemantauan (monitoring) dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pembangunan yang responsife gender (Juklak Inpres No. 9 tahun 2000).
Pembekalan Tenaga Kerja
Dalam rangka penempatan tenaga kerja ke luar negeri, setiap tenaga kerja berhak untuk mendapatkan bekal, baik berupa ketrampilan kerja maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan penempatan tenaga ke luar negeri. Pemberian bekal tersebut wajib diberikan oleh pelaksana penempatan (instansi pemerintah maupun swasta). Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104 A/Men/2002 tentang Penempatan tenaga kerja ke Luar Negeri pasal 41 yang berbunyi :
(1) Setiap PJTKI wajib menempatkan TKI yang berkualitas dari segi mental, fisik, ketrampilan teknis dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing yang diperlukan.
(2) Setiap PJTKI wajib melatih calon TKI yang belum memenuhi standar kualitas TKI di Balai Pelatihan Kerja (BLK) yang telah diakreditasi oleh Instansi Pemerintah yang berwenang di bidang pelatihan kerja.
Sebagaimana hal diatas, maka perlu adanya pelatihan kerja untuk setiap calon tenaga kerja yang akan dikirim keluar negeri sehingga mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dalam menjalankan pekerjaanya. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pelatihan kerja itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 13 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktifitas, dan kesejahteraan tenaga kerja. Dan setiap tenaga kerja berhak untuk mendapatkan dan meningkatakan kompetensi kerja tersebut melalui pelatihan kerja sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya”.
Adapun disamping itu, setiap calon tenaga kerja juga berhak mendapatkan bekal lain yang berkaitan sebelum ditempatkan di luar negeri. Adapun materi bekal tersebut yaitu antara lain (pasal 49 Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104 A/Men/2002):
a. Pembinaan mental kerohanian
b. Pembinaan fisik, disiplin dan kepribadian
c. Social budaya, adat istiadat dan kondisi negara tujuan
d. Peraturan perundangan di negara tujuan
e. Tata cara pemberangkatan dan kepulangan
f. Informasi yang berkaitan dengan keberangkatan perwakilan RI
g. Kelengkapan dokumen TKI
h. Isi perjanjian TKI
i. Hak dan kewajiban TKI/PJTKI
Selain itu, TKI/calon tenaga kerja juga harus mendapatkan jaminan perlindungan hak keselamatan dan kesejahteraan selama bekerja di luar negeri, di mana PJTKI sebagai penyalur wajib bertanggung jawab atas perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri (pasal 58 keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104 A/Men/2002):
Karena itu, penyelenggaraan penempatan tenaga kerja harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Adanya tenaga kerja yang akan ditempatkan
2. Tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan penempatan tenaga kerja.
3. Jaminan perlindungan bagi tenaga kerja yang ditempatkan, meliputi :
a. Perjanjian penempatan dengan cara tertulis antara penyelenggara dengan pengguna tenaga kerja
b. Perjanjian penempatan dengan cara tertulis antara penyelenggara dengan tenaga kerja
c. Perjanjian kerja dengan cara tertulis antara pengguna dan tenaga kerja
d. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan tenaga kerja dimulai keberangkatan dari daerah asal selama bekerja sampai dengan kembali ke daerah asal.
4. Informasi pasar tenaga kerja yang akan ditempatkan
5. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan (Siswanto, 2002 : 18).
Hal tersebut sesuai dengan arah pembangunan ketenagakerjaan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 3 tahun 2000, dimana pembangunan ketenagakerjaan yaitu bertujuan untuk :
1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja dengan cara optimum.
2. Menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.
3. Memberikan perlindungan bagi tenga kerja dalam mewujudkan kesejahteraanya
4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga (Siswanto S, 2002 :3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar