Custom Search

Senin, 14 Maret 2011

Tugas Formulasi Kebijakan Publik

TUGAS FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
Dosen Pengampu : AW Erlin Mulyadi , S.Sos. , M. PA.


Kelompok :
1. Mulyadi (D0104140)
2. Ana Uswatun K (D0108032)
3. Apringga Wulan S (D0108040)
4. Dian Pratama (D0108052)
5. Fadlika Ramadana (D0108064)
6. Lanjar Sari (D0108078)
7. Nurhajanti (D0108088)
8. Weni Sapti R (D0108106)
9. Maya Mayestika (D0108136)


JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

Faktor yang berpengaruh dalam penyusunan agenda kebijakan meliputi :
a. Faktor politik
b. Faktor ekonomi/finansial
c. Faktor administratif/organisatoris
d. Faktor teknologi
e. Faktor sosial budaya dan agama
f. Faktor pertahanan dan keamanan

Faktor yang akan kami bahas adalah faktor administratif/organisatoris.
Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif/organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu. Faktor ini juga akan menjadi kriteria dalam menentukan feasibilitas (kelayakan) dari alternatif yang akan dipilih. Contohnya Pembangunan jembatan sebaiknya dilakukan oleh pihak yang memang mampu untuk melaksanakannya atau dilelang kepada pihak swasta yang kompeten dibidangnya.

Hubungan antara faktor administrasi dan organisasi terhadap perumusan agenda pemerintah.
Untuk memahami perumusan agenda kita harus memahami hubungan antara isu dan institusi. Sebuah isu mulai tampak penting ketika sebuah institusi di dalam sistem politik menjadi terkait dengan isu itu. Kemajuan sebuah isu dibentuk oleh tingkat kekhususannya (particularity) yakni sejauh mana isu tersebut diperkuat oleh suatu kejadian atau sebuah peristiwa. Akan tetapi kekhususan tidak cukup untuk membuat isu menjadi diperhatikan. Isu harus punya legitimasi, sesuai dengan dan berkaitkan dengan nilai-nilai yang berlaku dan dominan atau isu tersebut harus mengandung compatability. Cara pemerintah menangani dan menghadapi isu merupakan faktor kunci dalam membentuk basis legitimasi di dalam system politik.
Untuk sampai pada analisis keterkaitan antara formasi isu dengan perhatian publik dan respon pemerintah dari sudut pandang organisasional maka pembuat kebijakan akan dihadapkan pada agenda publik dan media yang perhatianya terhadap isu dan kebijakan yang berbeda-beda juga mengalami pasang surut. Pembuat kebijakan harus mendengarkan suara rakayat karena hal tersebut merupakan puncak perhatian isu publik yang akan berdampak besar pada agenda organisasional pemerintah. Organisasi yang dibentuk untuk menangani isu tersebut akan tetap hidup dan memerhatikan isu meskipun perhatian publik berubah-ubah. Organisasi berpengaruh terhadap agenda kebijakan dalam hal memasukkan atau mengeluarkan isu karena organisasi juga dapat mempengaruhi tingkat perhatian terhadap suatu isu.

Agenda sistemik
Pada dasarnya merupakan agenda diskusi/pembicaraan yang berasal dari isu-isu yang berkembang di masyarakat.

Tiga persyaratan agar isu-isu kebijakan dapat masuk dalam agenda sistemik :
a. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan kesadaran publik.
b. Adanya persepsi dan pandangan publik yang luas bahwa beberapa tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut.
c. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu adalah merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah pemerintah untuk menyelesaikan /mengatasinya.

Contoh : Terorisme
Terorisme sebenarnya merupakan fenomena lama kehidupan manusia. Tindakan teror telah banyak digunakan dalam konflik-konflik struktural baik bermotivasikan ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya.
Terorisme kembali menjadi wacana dan perhatian publik dan negara-negara di dunia setelah tragedi WTC 11 September 2001. Peristiwa ini, dengan bantuan media massa, telah mengingatkan masyarakat dunia akan bahaya terorisme bagi kemanusiaan. Lebih dari itu, kejadian ini menjadi masalah baru bagi berbagai negara untuk melakukan aksi-aksi pemberantasan terorisme bahkan dengan mengesampingkan prinsip-prinsip kedaulatan, Hak Asasi Manusia, dan Hukum Internasional.
Terorisme kemudian menjadi salah satu tema diplomasi internasional yang utama, mengalahkan tema HAM, Korupsi, dan Globalisasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi perhatian dan target diplomasi terorisme internasional karena kondisi keamanan, sosiologis, dan geopolitik yang sangat memungkinkan menjadi salah satu basis organisasi terorisme Jama’ah Islamiah yang memiliki jaringan dengan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Tekanan pihak asing semakin kuat dengan adanya peristiwa Bom Bali yang menjadi bukti bagi opini bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang terorisme dan menjadi wilayah jaringan Jama’ah Islamiah bersama Singapura, Malaysia, dan Filipina. Untuk merespon peristiwa Bali, pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan PERPU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 untuk Kasus Bom Bali (retroaktif). Alasan utama dikeluarkannya kedua Perpu ini adalah karena dianggap belum ada payung hukum untuk mengungkap kasus Bom Bali. Kedua Perpu ini sedang dalam pembahasan DPR beserta RUU Terorisme dan patut mendapatkan perhatian semua pihak karena sangat berpeluang menjadi ruang baru bagi kembalinya kekuasaan otoritarian yang memberangus kebebasan masyarakat. Kekuasaan yang berlebih untuk pemberantasan terorisme berjumpa dengan kepentingan politik kekuasaan militer harus diwaspadai sebagai moment konsolidasi militerisme.
Pengaturan tindak pidana teror meliputi dua aspek yaitu pencegahan (anti) dan pemberantasan (contra). Pencegahan teror tidak bisa dilakukan hanya melalui pendekatan hukum saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan masyarakat. Motivasi utama tindakan teror adalah perasaan diperlakukan secara tidak adil, ketertindasan, dan kepercayaan tertentu. Pencegahan tindak pidana teror harus merupakan kebijakan yang mengeliminasi akar motivasi tersebut, yaitu mewujudkan keadilan, pembebasan dari kemiskinan, dan keterbukaan diskursus religius.
Pada tataran yang lebih operasional, pencegahan tindak pidana teror dapat dilakukan dengan deteksi dini untuk menghindari dan menggagalkan upaya teror. Hal ini merupakan agenda sistemik dari aparat keamanan di segala sektor. Sebagai salah satu contoh adalah mekanisme kontrol terhadap peredaran bahan peledak dan senjata api. Untuk itu diperlukan kebijakan yang mendorong akuntabilitas serta peningkatan kapasitas institusi pelaksana kebijakan seperti; intelejen, imigrasi, Polri, TNI, Bea Cukai, dan Bank Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana teror.
Sedangkan pengaturan kontra terorisme adalah pemberantasan, pengungkapan, dan penanganan kasus tindak pidana teror dan pelaku teror. Pengaturan ini berupa penetapan tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindak pidana teror, prosedur penanganan (penyelidikan, penyidikan, dan peradilan) serta sanksi yang diterapkan.

Masalah terorisme apabila dihubungkan dengan ke-6 faktor di atas :
1. Faktor politik : masalah terorisme mengancam kedudukan para penguasa dalam pemerintahan suatu negara. Karena pada dasarnya terorisme bertujuan untuk menghancurkan pemerintahan suatu negara. Saat terjadi tindakan terorisme, maka akan mengakibatkan melemahnya kondisi suatu negara baik itu perekonomian, kehidupan sosial, politik dsb. Dan hal itu tentu akan mengancam kedudukan para penguasa yang dianggap tidak becus dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Maka untuk mengatasi hal tersebut pemerintah membuat PERPU terorisme sebagai landasan hukum untuk mengungkap kasus terorisme. Sekaligus sebagai upaya pencegahan bagi tindak terorisme di Indonesia.
2. Faktor ekonomi : terorisme yang terjadi di suatu negara akan berakibat buruk pada perekonomian. Karena perekonomian suatu negara ditunjang dari kondisi keamanan negara tersebut. Negara yang sedang menghadapi ancaman terorisme akan diperhitungkan oleh para investor untuk menanamkan modalnya. Hal itu tentu saja akan menjadi penghambat bagi perkembangan suatu negara. Khususnya bagi Indonesia yang merupakan negara berkembang.
3. Faktor administratif : bagaimana administrator melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk memberantas terorisme tersebut.
4. Faktor teknologi : terorisme saat ini sudah semakin profesional dan semakin canggih dalam penerapan teknologi. Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah juga harus mengembangkan teknologi pertahanan yang mereka miliki untuk dapat melampaui teknologi teroris. Dengan semakin canggihnya teknologi pertahanan negara, maka akan mempermudah pihak berwenang dalam memberantaas kasus terorisme.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama : adanya terorisme membuat masyarakat Indonesia resah, dan akan memunculkan pandangan negatif pada warga muslim. memojokkan posisi Indonesia yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam terbesar di dunia.
6. Faktor pertahanan dan keamanan : pemerintah harus semakin memperketat sistem pertahanan dan keamanan. Di setiap daerah di propinsi perlu diadakan razia bagi setiap pendatang yang akan memasuki suatu daerah. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi teroris yang akan keluar masuk suatu daerah.

Artikel Sejenis :



Tidak ada komentar: